Rabu, 25 April 2012

Fenomena Mudik Lebaran dalam Perspektif Penataan Ruang


Dalam perspektif penataan ruang, fenomena "mudik-Lebaran" mengkonfirmasi masih terjadinya ketergantungan yang besar pada beberapa aglomerasi kota-kota utama Indonesia, khususnya Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Dengan kata lain, fenomena "mudik-Lebaran" merupakan salah satu cermin belum-berhasil pemerintah dalam men-sejahtera-kan masyarakat desa dan membangun kawasan perdesaan secara lebih berimbang dengan kawasan perkotaan.


Kota-kota, dengan segala daya tariknya (khususnya kesempatan kerja, ketersediaan infrastruktur dan kelengkapan fasilitas sosial-ekonominya) tetap menjadi magnet utama bagi masyarakat desa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan mengangkat harkat dirinya, melepaskan diri dari berbagai keterbelakangan dan ketertinggalan.

Barangkali, apabila tidak terjadi ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan yang tinggi, fenomena "mudik Lebaran" tidak akan menjadi isu yang demikian besar menyedot perhatian masyarakat.

Proporsi penduduk perkotaan tahun 2005 di kawasan Jawa bagian Barat pun tercatat lebih tinggi (DKI Jakarta 100%, Jawa Barat 50%, dan Banten 52%) dibandingkan dengan di Jawa bagian Tengah dan Timur (Jawa Timur 41%, Jawa Tengah 40%, dan Yogyakarta 58%). Artinya, konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi dan penumpukan penduduk cenderung ke bagian Barat Pulau Jawa. Sehingga logis saja apabila arus mudik berasal dari kawasan Jawa bagian Barat menuju sebagian besar ke arah Tengah dan Timur dan selebihnya ke Pulau Sumatera.

Apabila kota-kota tetap dipandang sebagai satu-satunya tempat untuk menjadi sejahtera sesuai dengan tuntutan peradaban modern, sementara desa-desa tetap dipandang sebagai tempat yang tidak memiliki harapan dan terus menjadi simbol kemiskinan dan ketertinggalan, maka proses migrasi desa ke kota akan terus berlangsung.

Kota-kota akan tetap menjadi tumpuan harapan bagi generasi berikutnya untuk merajut mimpi dan melanjutkan kisah sukses para pendahulunya.

Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan di negara berkembang, termasuk Indonesia, telah disinyalir 30 tahun yang silam oleh Todaro (1978). Ketimpangan tersebut dicirikan oleh: 
  1. perbedaan yang mencolok antara pendapatan orang kota dan orang desa; 
  2. di kota sendiri terdapat kehidupan segelintir orang kaya di tengah-tengah orang miskin; dan 
  3. di desa terdapat segelintir manusia yang relatif lebih modern berada di tengah lingkungan masyarakat tradisional yang luas. Kelompok kecil ini sangat progresif, lincah, kaya dan berada di tengah massa yang miskin (lihat Hafsah, 2006).

Sulit dibayangkan apabila pada tahun 2025 mendatang, dengan proporsi penduduk perkotaan Indonesia mencapai sekurangnya 65%, bagaimana pemerintah dapat melayani dengan optimal kebutuhan masyarakat dalam menjalani prosesi tahunan bernama "mudik Lebaran"? Dengan kata lain, mungkinkah mudik-Lebaran menjadi sebuahritual tahunan yang lebih manusiawi, cepat dan nyaman, layaknya sebuah perjalanan wisata yang dapat dinikmati masyarakat?

Keseimbangan pembangunan yang diikuti dengan pemerataan kesempatan dan kesejahteraan antara kawasan perkotaan dan perdesaan perlu menjadi perhatian bersama. Kita perlu meyakini bahwa penyelesaian sebagian masalah perkotaan berada di kawasan perdesaan, salah satunya dengan pendekatan kawasan agropolitan yang awal mulanya digagas oleh John Friedmann dan Mike Douglass. Pendekatan agropolitan atau “kota di ladang” tersebut, secara juridis, telah memiliki landasan yang kuat, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 48 dan 51 pada UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang.

Sumber: PU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar