Dalam perspektif penataan ruang, fenomena "mudik-Lebaran" mengkonfirmasi
masih terjadinya ketergantungan yang besar pada beberapa aglomerasi kota-kota
utama Indonesia, khususnya Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Dengan kata lain, fenomena "mudik-Lebaran" merupakan salah
satu cermin belum-berhasil pemerintah dalam men-sejahtera-kan masyarakat desa
dan membangun kawasan perdesaan secara lebih berimbang dengan kawasan
perkotaan.
Kota-kota, dengan segala daya tariknya (khususnya kesempatan
kerja, ketersediaan infrastruktur dan kelengkapan fasilitas sosial-ekonominya)
tetap menjadi magnet utama bagi masyarakat desa dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan dan mengangkat harkat dirinya, melepaskan diri dari berbagai
keterbelakangan dan ketertinggalan.
Barangkali, apabila tidak terjadi ketimpangan antara kawasan
perkotaan dan perdesaan yang tinggi, fenomena "mudik Lebaran" tidak akan menjadi isu yang demikian besar menyedot
perhatian masyarakat.
Proporsi penduduk perkotaan tahun 2005 di kawasan Jawa
bagian Barat pun tercatat lebih tinggi (DKI Jakarta 100%, Jawa Barat 50%, dan
Banten 52%) dibandingkan dengan di Jawa bagian Tengah dan Timur (Jawa Timur 41%, Jawa Tengah
40%, dan Yogyakarta 58%). Artinya, konsentrasi kegiatan sosial-ekonomi
dan penumpukan penduduk cenderung ke bagian Barat Pulau Jawa. Sehingga logis
saja apabila arus mudik berasal dari kawasan Jawa bagian Barat menuju sebagian
besar ke arah Tengah dan Timur
dan selebihnya ke Pulau Sumatera.
Apabila kota-kota tetap dipandang sebagai satu-satunya
tempat untuk menjadi sejahtera sesuai dengan tuntutan peradaban modern,
sementara desa-desa tetap dipandang sebagai tempat yang tidak memiliki harapan
dan terus menjadi simbol kemiskinan dan ketertinggalan, maka proses migrasi desa
ke kota akan terus
berlangsung.
Kota-kota
akan tetap menjadi tumpuan harapan bagi generasi berikutnya untuk merajut mimpi
dan melanjutkan kisah sukses para pendahulunya.
Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan di negara
berkembang, termasuk Indonesia, telah disinyalir 30 tahun yang silam oleh
Todaro (1978). Ketimpangan tersebut dicirikan oleh:
- perbedaan yang mencolok antara pendapatan orang kota dan orang desa;
- di kota sendiri terdapat kehidupan segelintir orang kaya di tengah-tengah orang miskin; dan
- di desa terdapat segelintir manusia yang relatif lebih modern berada di tengah lingkungan masyarakat tradisional yang luas. Kelompok kecil ini sangat progresif, lincah, kaya dan berada di tengah massa yang miskin (lihat Hafsah, 2006).
Sulit dibayangkan apabila pada tahun 2025 mendatang, dengan
proporsi penduduk perkotaan Indonesia mencapai sekurangnya 65%, bagaimana
pemerintah dapat melayani dengan optimal kebutuhan masyarakat dalam menjalani
prosesi tahunan bernama "mudik Lebaran"? Dengan kata lain, mungkinkah mudik-Lebaran menjadi
sebuahritual tahunan yang lebih manusiawi, cepat dan nyaman, layaknya
sebuah perjalanan wisata yang dapat dinikmati masyarakat?
Keseimbangan pembangunan yang diikuti dengan pemerataan
kesempatan dan kesejahteraan antara kawasan perkotaan dan perdesaan perlu
menjadi perhatian bersama. Kita perlu meyakini bahwa penyelesaian sebagian
masalah perkotaan berada di kawasan perdesaan, salah satunya dengan pendekatan
kawasan agropolitan yang awal mulanya digagas oleh John Friedmann dan Mike
Douglass. Pendekatan agropolitan atau “kota
di ladang” tersebut, secara juridis, telah
memiliki landasan yang kuat, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 48 dan 51
pada UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang.
Sumber: PU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar